AKSARANEWS.CO.ID - MICHEL Platini adalah salah satu legenda hidup sepakbola Perancis. Gelandang elegan yang menjadi saksi hidup peristiwa Heysel ketika terjadi kerusuhan suporter Liverpool dan Juventus di final Piala Champions di Stadion Heysel, Belgia 1985, saat itu memakai bandrol kapten Juventus di lengannya.
Lewat kaki kanannya pula, dari titik penalti di menit ke-56, Platini mencetak
satu-satunya gol kemenangan “berdarah” bagi kesebelasan dari kota Turin, Italia
tersebut atas Liverpool, 1-0. Akibat Heysel Stadium Disaster, atau lebih dikenal
dengan Tragedi Heysel tersebut, 39 suporter Juventus meninggal dan lebih 600
penonton mengalami luka-luka, serta berbuntut Federasi Sepakbola Eropa (UEFA)
menjatuhkan sanksi berat dan keras berupa larangan bermain bagi semua klub Inggris
di semua kompetisi Eropa selama lima tahun.
Tragedi Heysel ternyata bukan menjadi satu-satunya kenangan kelam perjalanan
karier Platini di sepakbola, baik sebagai pemain maupun kemudian sebagai pengurus.
Gelandang yang bersama Jean Tigana-Alain Giresse-Luis Fernandez disebut-sebut
sebagai kuartet terbaik lini tengah tim nasional Perancis
di tahun 1980-an itu, kemudian diterpa dengan kasus suap yang mengguncangkan tidak saja reputasinya yang begitu cemerlang ketika sebagai pemain, tetapi juga sepakbola Perancis.
Itu terjadi ketika di tahun 2015, Platini yang menjadi Presiden UEFA terlibat kasus suap. Tentu saja, dunia sepakbola geger dengan berita tersebut. Apalagi, setahun kemudian zone Eropa akan menggelar pesta sepakbola Piala Eropa, dan dimainkan pula di Perancis.
Sungguh sebuah nestapa yang menghantam bertubi-tubi sepakbola Perancis, dan lebih
khususnya Platini. Akan tetapi, apakah reputasi dan nama besar Platini ini bisa
membuat dia menghindari hukuman UEFA? Atau,
minimal, UEFA menunda memproses kasusnya, dan menunggu sampai berakhir Piala Eropa 2016?
Bagi UEFA, kasus suap Platini dan Kejuaraan Piala Eropa adalah dua hal yang
berbeda. Urusan Platini adalah urusan internal Federasi Sepakbola Eropa. Sedangkan
Piala Eropa 2016 adalah urusan panitia penyelenggara yang sudah dipercayakan
kepada Federasi Sepakbola Perancis. Platini kemudian dinyatakan bersalah dan
dihukum empat tahun.
Nyaris Sama
Kisah duka Platini dan sepakbola Eropa di atas, nyaris persis sama dengan kondisi
sepakbola kita di Tanah Air saat ini. Bukan rahasia umum lagi bahwa PSSI dalam
beberapa dekade terakhir bermegah-megah dengan bungkusan suap-menyuap di
berbagai lini kegiatan. Sebagian pengurus terasnya juga sudah diindikasikan
melakukan suap-menyuap atau pengaturan skor, tetapi tidak semuanya bisa
dibersihkan oleh aparat kepolisian. Bahkan, ada oknum yang sampai sekarang masih
di kepengurusan, dan tetap “dipelihara” untuk mengurus PSSI.
Dalam kondisi inilah, sudah sepantasnya masyarakat sepakbola sangat gerah dan
cemas akan masa depan sepakbola Indonesia. Memang terdengar sebagai sebuah
guyonan murahan ketika terdengar suara-suara yang meneriakan KLB lagi. Karena,
hampir setiap tahun, PSSI nyaris terus melakukan KLB dan KLB lagi.
Keinginan menggelar KLB lagi karena memang kondisi yang terjadi, kalau tidak
dibilang diciptakan, memaksakan untuk memilih ketua dan pengurus baru. PSSI saat
ini sudah sangat memprihatinkan.
Di saat tim nasional negara-negara lain memenuhi jadwal atau kalender FIFA untuk
international friendly match, timnas Indonesia tidak terdengar sama-sekali. Jangankan
bertanding, membentuk tim saja tidak ada.
Di dalam negeri, lebih parah lagi, pengurus PSSI tidak mampu menggelar dan
menyelesaikan kompetisi strata tertinggi Liga 1 dan 2 di tahun 2020 ini. Salah satu
kegunaan melakukan pertandingan persahabatan internasional, yaitu untuk
mempebaiki peringkat. Indonesia saat ini di peringkat 173 dunia.
Yang terpikirkan oleh pengurus PSSI, untuk program kerja tahun 2020-2021 adalah
Piala Dunia U-20 tahun depan. Yang lainnya silahkan menggir dulu. Nanti seusai
Piala Dunia 2021, baru dibuka lagi lembaran kerja baru PSSI. Sungguh ironis
memang kinerja 15 anggota Exco yang mendapat mandat dan kepercayaan penuh
sekitar 86 suara voters di Kongres tahun 2019 lalu untuk memimpin PSSI.
Anggota PSSI dan pemerintah adalah dua elemen terdepan yang bisa melakukan
perubahan segera di PSSI. Anggota dapat segera melayangkan mosi tidak percaya,
karena ketidakmampuan ketua memimpin PSSI, untuk segera menggelar Kongres
Luar Biasa (KLB). Akan tetapi, kondisi saat ini, sangat sulit mengandalkan anggota
PSSI untuk melakukan mosi tidak percaya. Banyak alasan untuk keterbatasan anggota
mengusulkan KLB.
Yang paling bisa melakukannya dan lebih cepat adalah pemerintah. Merujuk kasus
Platini di atas, pemerintah tidak perlu khawatir bahwa ketika terjadi perubahankepengurus di PSSI dalam waktu dekat ini akan mengganggu persiapan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
Saat ini justru, pemerintah yang memegang kendali pelaksanaan Piala Dunia U-20. Itu
dikuatkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) yang menunjuk Menpora Zainudin
Amali sebagai Ketua INAFOC. Ketua PSSI, Mochamad Iriawan atau akrab disapa
Iwan Bule (Ibul) ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana Tim Nasional. Bila terjadi
perubahan struktur kepengurusan di PSSI sebelum Piala Dunia U-20, maka siapapun
yang menjadi Ketua PSSI, otomatis menjadi Ketua Pelaksana Tim Nasional pula.
Mengingat jabatan ketua pelaksana itu diberikan berdasarkan institusi dan bukan
personal.
Untuk persiapan tim nasional U-19 saat ini yang ditangani pelatih Shin Tae-yong
(STY) sudah berjalan sehingga siapa pun ketua dan pengurus baru PSSI akan
meneruskan saja sistem yang telah dibangun dan mengikuti apa yang telah dijalankan
oleh STY dan timnya. Apalagi, pemerintah telah berkomitmen untuk mendukung
penuh semua keperluan, termasuk biaya untuk keberhasilan timnas di Piala Dunia
nanti.
Desakan Semakin Kuat
Dari informasi yang diperoleh penulis, desakan untuk segera melakukan pergantian
pengurus di tubuh PSSI
semakin kuat mengalir di arus bawah. Unsur mantan
pemain, stakeholder, sampai pada voter sangat bertkerinduan melihat adanya
perubahan di kepengurusan PSSI, serta masa depan sepakbola Indonesia lebih baik di
tangan orang yang tepat.
Bagi komunitas sepakbola, Ibul sudah dianggap gagal untuk memimpin PSSI ke
depan. Sudah setahun lewat, di mata mereka, Ibul tidak melakukan perubahan apapun
di sepakbola nasional dan PSSI. Harapan dan kerinduan masyarakat sepakbola untuk
adanya perubahan ini diletakkan di pundak pemerintah.
Mengharapkan perubahan itu datang dari dalam internal PSSI, sudah sangat sulit
karena adanya mafia dan kartel yang sudah begitu kuat cengkramannya. Satu-satunya
unsur yang bisa merombak dan melawan kartel di PSSI ini adalah pemarintah. Itu
sudah pernah dilakukan Menpora Imam Nahrowi di lima tahun pertama periode
kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, dalam salah satu sambutan
di pembukaan Kejuaraan Piala Presiden tahun 2016, Jokowi dengan tegas mengatakan:
“Bila perlu kita berdiam diri dalam dua tahun, tetapi kemudian bangkit dengan wajah
dan kesegaran baru,” tegasnya.
Menpora sebagai kepanjangan tangan pemerintah tidak bisa tinggal diam melihat
kondisi PSSI dan sepakbola Indonesia yang terus semakin tidak jelas arah
perjalanannya. Menpora tidak bisa lagi hanya berteori dan berbasa-basi. Sudah harusada sikap dan langkah tegas dari Menpora, dan lebih khusus menyorot PSSI.
Sampai saat ini, Menpora belum melakukan sebuah langkah spektakuler di olahraga,
khususnya sepakbola. Padahal, pesan Presiden Jokowi saat melantik Menpora di
Istana Negara, Jakarta sudah jelas sekali arahnya. Akan tetapi, sudah setahun lebih
memimpin Kemenpora, Zainudin Amali belum melakukan apa-apa buat memperbaiki
sepakbola Indonesia, justru sepakbola Indonesia semakin tenggelam dalam
ketidakpastian masa depannya.
Semoga Amali tidak turut tenggelam, dan ikut dalam permainan dan orkestra yang
digaungkan PSSI.
“Menjadi pemimpin bukanlah sebuah pencapaian,
tetapi sebuah kepercayaan dan tanggung jawab”.
Inpres No 3 tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional
(P3N) juga sudah berada di tangan Kempenroa, tetapi langkah-angkah nyata belum
nampak ditindaklanjuti Menpora. Sebentuar lagi tahun 2020 berakhir, sedangkan
dalam peta jalan Inpres No 3 itu ada amanah yang harus dilaksanakan, yaitu
pembangunan pilot project sebagai proyek percontohna untuk pembangunan diklat
sepakbola sesuai perintah peta jalan. “Sepakbolanya, Pak?! ****
Yesayas Oktovianus
Wartawan (Kompas 1983-2016) Spesialis Sepakbola